Total Tayangan Halaman

Minggu, 24 November 2013

Syair keinsyafan

Bila Izro’il datang berhampir
 Jasad terbujur di pembaringan
 Wahai insan sadarlah diri
 Godaan syaitan yang menyesatkan     Wahai mu’min orang yang beriman   Insaflah diri di perjalanan   
Dari alam roh sabarataan   
Jalan menuju keridhoan Tuhan    
Dari alam roh mulanya ada  
Diri sendiri badan tiada  
Waktu berjanji apa yang ada  
Janji menjunjung Qur'an dan sabda     Kita semua dalam dunia   
Jalanya hidup bersimpang dua   
Jalan petunjuk Qur'an dan sabda   Pangkal menyesal nafsu dan hawa    Wahai orang mukmin dan muslim  Selamat diri hati yang taslim  Menghadap Tuhan Mau'ul Karim  Nafas tersesak dalam hulukum     Nafas terhalang timbul tenggelam   Sanak saudara mohon ridho yang silam   
Malaikat maut memberi salam   Sedikit tempo berpindah alam    
Tak guna lagi menyesal lalu  Betulkan Allah dalam pandanganmu  Jangan mengingat barang yang lalu  Sesat manusia berhati pilu     
Wahai hamba Allah yang budiman   Dzahir dan bathin di dalam iman   Kuat pandangmu kholikur rakhman   Kau berpindah ke keadaan aman 

Selasa, 19 November 2013

Sanad ilmu

salah satu ciri seorang Ulama warisyatulambya
adalah:
ilmu yg diajarkan oleh seorang Guru atau Ulama
tersebut harus jelas silsilah/asal muasal
keilmuannya dari Guru ke Guru sampai kepada
Rasulullah SAW sebagai sumbernya segala ilmu
didunia ini (yg pada hakekatnya bersumber dari
Allah itu sendiri).
Pentingkah kita mengetahui tentang Silsilah
Keilmuan Agama dan amal ibadah kita...????
jawabannya:
Tentu saja teramat penting dan wajib
mengetahui silsilah keilmuan tersebut.
apalagi ilmu tentang Agama dan keselamatan
dunia akhirat,
seandainya kita hanya belajar dari membaca
buku atau kitab kitab saja,siapa yg akan
mempertanggung jawabkan semua amal dan
ibadah kita dihadapan Allah SWT kelak...?
apakah kita berani menanggung sendiri bila ada
kesalahan pada amalan yg kita baca dan
amalkan..???
apakah sipengarang atau penulis buku itu mau
bertanggung jawab atas apa yg ditulisnya dan
terus diamalkan oleh kita..???
jawabannya : "pasti 100% tidak berani...!"
sedangkan bila kita mendapatkan ilmu yg jelas
silsilah keilmuannya,maka pasti akan ada yg
bertanggung jawab atas amalan yg kita perbuat
sesuai dgn apa yg telah diajarkan Sang Guru
( Ulama warisyatul ambya ) itu kepada kita.
salah satu ciri Ulama Warisyatul ambya adalah
Beliau berani mempertanggung jawabkan atas
Ilmu yg beliau ajarkan kepada Jamaah/murid
muridnya,baik didunia ini sampai dihadapan Allah
SWT kelak.
dan Beliau berani bersaksi atas semua amal
ibadah kita dihadapan Allah SWT.
bila seorang Guru atau yg mengaku Ulama tdk
mau bertanggung jawab atas apa yg
diajarkannya kepada jamaah atau murid
muridnya dgn dalih bahwa tanggung jawab
tentang amal ibadah kita adalah kewajiban diri
kita masing masing,
patut kita pertanyakan ilmu dia.
ini kutipan dari beberapa keterangan tentang
Ulama Warisyatul ambya dan tentang pentingnya
kesaksian seseorang yg bertanggung jawab atas
ilmu yg diajarkannya kepada kita dihadapan
Allah SWT.
Kanat banu-isroila tasu suhumul 'anbiyau,
kullama halaka Nabiyyun kholafahu Nabiyyun.
Wainnahu laa Nabiyya ba'di wasa takuunu
khulafa'u fataktsuru
"Dulu Bani Israil diurusi dan dipelihara oleh Nabi.
Setiap kali seorang Nabi meninggal, Nabi yang
lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada
Nabi Sesudahku dan ada para Khalifah yang
berjumlah banyak."
(HR. Bukhari - Muslim)
Al-Ulama'u Warishatul Ambiya.
"Sesungguhnya Ulama itu adalah pewaris Nabi"
(HR. Muslim)
Yasfa'u yaumal qiyaamatil ambyia'u tsummal
Ulamaa'u tsummasy - syuhadaa'u.
"Yang memberi Syafa'at di hari qiamat adalah
para Nabi, Ulama dan Syuhada "
(HR. Ibnu Majah).
In-namaa yakhsalloha min ibaadihil 'ulamaa-u.
"Hanya Ulama sajalah di antara hamba-Nya yang
benar-benar takut kepada Allah SWT."
(QS. Al-Fathir : 28).
Wa yauma nab'atsu fii kul-li um-matin syahiidan
'alaihim min anfusihim wa ji'naa bika syahiidan
'alaa haa-ulaa.
"Dan ingatlah suatu hari, ketika Kami (Allah)
bangkitkan tiap-tiap umat seorang saksi atas
mereka dan untuk mereka sendiri, lalu Kami
datangkan engkau (Muhammad) menjadi saksi
atas mereka (sebagai umatnya)."
(QS. An-Nahl : 89).
Wal-ladziina 'amanuu billahi warosulihi ulaika
humush-shiddiquun wash-syuhadaa'u 'indarob-
bihim.
"Dan orang-orang yang benar beriman kepada
Allah dan Rosul-NYA, mereka itu orang-orang
Siddiqin, dan orang-orang yang menjadi saksi di
sisi Tuhannya "
(QS. Al-Hadid : 19).
In-nal-ladzina yubayi'uunaka in-nama
yubaayi'unallah, yadullahi fauqo aidiihim.
"Barang siapa berjanji teguh (Bai'at) dengan
engkau (wahai Muhammad) sebenarnya mereka
berjanji teguh dengan Allah, Tangan Allah di
atas tangan mereka. "
(QS. Al-Fath : 10)
Laa yamlikuunasy-syafa'ta il-laa manit-
takhodza 'indar-rohmaani 'ahdaa.
"Mereka tidak berhak mendapat syafa'at kecuali
orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi
Tuhannya "
(QS. Maryam : 87).

Senin, 18 November 2013

Tareqat junaidiyah

Tarekat Junaidi Al Baghdadi
Assalamualaikum Warahmatullahi ta'ala
Wabarkatuh
Bismillahirrohmannirohim
Di tengah tengah perjalanannya di Pulau
Kalimantan , Bagong bertemu dengan para Ahli
Tarekat Junaidi Al Baghdadi....
menurut para Ahli Tarekat , Tarekat Junaidi Al
Baghdadi adalah tarekat yang paling tua
dibandingkan amaliyah tarekat lainnya......
dimana Imam Junaidi Al Baghdadi sebagai imam
yang menurunkan amaliyah ini.
Berikut Silsilah Amaliyah Tarekat Junaidi Al
Baghdadi:
Dari Allah SWT, disampaikan Malaikat Jibril
kepada :
1. RASULULLAH MUHAMMAD. SAW
2. ABU DZAR AL
GIPARI 2. ALI BIN ABI
THOLIB
3. MALIK BIN UMAYRAH
3. HASAN BASRI
4. HASAN BIN HASAN BIN HASAN BIN ALI 4.
HABIBUL AZAMI
5. ABI SULAIMAN BIN DAUD ASSYIRATTHA' I
6. ABI MAHFUD MA'RUF BIN FAIRUZ AL KARKHI
7. IMAM SIRRI AS SAQTHI
8. IMAM JUNAIDI AL BAGHDADI
9. IMAM ASSYIBLI
10. IMAM ANNAS RABAZI
11. IMAM ALKUSSYAYRI
12. IMAM MUHAMMAD AZZAHIDI
13. ALWI RIDHA
14. IMAM BAJUNAIDI
15. IMAM ABDURAHIM AL ALWI
16. IMAM ABDURRAHMAN AL ALWI
17. IMAM AL ALWI
18. IMAM ABDULLAH AL ALWI
19. SAYID UMAR BAJUNAIDI
20. KH.KASPUL ANWAR FIRDAUS
21. Al Khalifatul Thoriqoh Junaedi Al Baghdadi H
M . QURTUBI BIN KHALID Kalimantan
Itulah nama - nama yang disebut sebagai
khalifah Tarekat Imam Junaedi Al Baghdadi,
Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan nama
atau gelar ulama atau ada yang belum penulis
ketik di blog ini karena sampai bulan April 2013
itulah nama - nama yang sempat penulis ketahui
dari saudara Bagong.
Adapun adanya amaliyah Tarekat Junaidi Al
Baghdadi di Indonesia diketahui karena dibawa
oleh Syeikh KH. KASPUL ANWAR FIRDAUS setelah
melaksanakan ibadah haji lalu ke Kalimantan
Selatan (Banjarmasin). Diantara 3 murid Syeik
KH. KASPUL ANWAR FIRDAUS diketahui akhirnya
amaliyah Tarekat ini disebarkan oleh Syeikh yang
tidak pernah lelah mengajarkan,membimbing dan
menyampaikan yaitu Syeikh H.M.Qurtubi. (dari
Kalimantan Selatan sampai di Kalimantan
Tengah)
Menurut syeikh-syeikh tarekat Junaidi
Albaghdadi yang sempat ditemui Bagong
Amaliyah Tarekat Junaidi Al Baghdadi adalah
sederhana dan tidak menyimpang daripada Al
Qur'an dan Al hadist, (sebagai Ahli Sunnah wal
jamaah mengamalkan amaliyah tarekat, hakekat
dan ma'rifat berbingkaikan syariat)
Adapun wirid yang masih mengikuti ajaran dari
Syeikh Qurtubi adalah :
1. Wirid Lailahailallah (Nafi Isbad)"tiada Tuhan
Selain Allah" (Peniadaan ketidakadaan) tidak
boleh putus kemudian adalah wirid Ilallah
(Isbad) (menghadirkan keberadaan Al-Haq
Allah.SWT) dan wirid Allah (Ismudzad) (kekal
dengan Allah) selanjutnya zikir khafi, zikir
akhfa
(wirid Ilallah tidaklah boleh dilakukan tanpa
wirid Lailahailallah)
2. Warid setiap malam Senin dan kamis
(mengamalkan dzikir bersama dan sholat hajat
bersama
3. Melaksanakan Tawajuh Mutlaq setiap selesai
sholat 5 waktu, (diyakini mereka yang
mengamalkannya dapat mudah menerima ajaran
hakekat )
4. mengamalkan Asmaul Husna dalam kehidupan
sehari-hari ( disinilah Akhlaqul Karimah
terbentuk bagi mereka yang benar benar
memahami Asmaul husna, memahami betul-betul
betapa Allah taala Maha Mengasihi Maha
Menyayangi dan betapa manusia harus selalu
bersyukur atas segala nikmat yang TIDAK
PERNAH PUTUS Dia (Allah.SWT) berikan untuk
semesta Alam) dan betapa tidak ada yang dapat
disombongkan di dunia ini karena semuanya
adalah milik Allah SWT, dan betapa tidak ada
yang dapat terjadi tanpa daya dan upaya
Allah.SWT.
Dalam perjalanannya Alm. Syeikh Qurtubi-lah
yang paling dikenal dalam menyebarkan Syiar
Islam bagi yang mengamalkan Tarekat Junaidi Al
Baghdadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Selatan. menurut cerita, beliau dikenal tidak
pernah lelah dan tidak kenal waktu untuk
menyampaikan syiar Islam, beliau juga tidak
mengeluh dan sabar dalam menghadapi segala
masalah.
Sampai di tahun 2013 belum ada pengganti
Khalifah Syekh Qurthubi dan untuk saat ini
perjuangannya dilanjutkan oleh Khalif dan para
Badal Badal Khalifah yang tersebar diseluruh
Indonesia.
Menurut mereka para ahli tarekat Junaidi Al
Baghdadi tidaklah boleh merasa dan
menampakkan kesedihan atau mengeluh dalam
menghadapi segala masalah yang dihadapi,
mereka harus bisa benar benar berserah diri
kepada Allah SWT. karena cukuplah Allah sebagai
penolong bagi mereka dalam hidup di dunia dan
untuk kehidupan di Akherat .
Mungkin itu sekilas dan sedikit yang bisa penulis
sampaikan dari perjalanan Bagong yang berjalan
berkelana...... dari Pulau Jawa Sampai Pulau
Kalimantan. adapun amaliyah yang penulis
sampaikan disini akan sia-sia diamalkan tanpa
disampaikan langsung oleh Mursyid (supaya
amalan bersilsilah, karena ilmu mudah didapat
dan dibaca dari buku dan internet tapi tanpa
disampaikan oleh Mursyid maka amalan yang
diamalkan akan hampa/sia sia dan dapat
menyimpang dari Al Qur;an dan hadist)
Wassalamualaikum Warahmatullahi ta'ala
wabarkatuh....
Sumber : http/bagongjalanjalan.blogspot.com

Kamis, 14 November 2013

Penghambaan Karena Cinta

Penghambaan karena mencintaiNya sehingga bersikap dan berbuat yang dicintaiNya Ada di antara mereka menuliskan sebagai berikut ***** awal kutipan ***** “Benarlah perkataan seorang imam besar, yakni Al-Imam Syafi’i rahimahullah yang dinukil Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.” Dungu berarti sedikitnya akal, dan tidaklah aneh orang yang belajar tasawuf dalam sehari hingga menjadi kurang akalnya, dan hal itu bisa kita lihat dari perkataan-perkataan tokoh sufi yang sangat nyeleneh. Diantaranya perkataan salafnya kaum sufi, Rabi’ah Al-Adawiyah, ia berkata, “Aku menyembah Allah karena tidak takut nerakaNya dan tidak mendambakan surgaNya” (Jamharatu Al-Auliai, Al-Manufi Al-Husaini, Jilid 1, hal. 270) Begitujuga mengenai perkataan nyeleneh seorang Rabi’ah al-Adawiyah, aku beribadah kepada Allah karena takut dengan neraka-Nya juga tidak mengharap surga-Nya, lantas kalau qiyaskan dalam dunia kerja, ada seorang buruh bekerja disebuah pabrik, lantas dia berkata: “Aku bekerja dipabrik ini tidak mengharap gajih juga bukan karena takut dipecat atasan. Kalau kita gunakan akal sehat, pernyataan tersebut hanyalah keluar dari mulut seorang yang linglung, toh buat apa dia bekerja, menghabiskan hari-harinya dipabrik tersebut, dia hanya mendapat capenya saja, lantas dia makan apa dirumah kalau tidak menginginkan gajih, yang dia harapkan cuman sebatas simpati dari sang atasan. Kalau kita cermati perkataan seorang Rabi’ah al-Adawiyah diatas, perkataan tersebut boleh dibilang aneh bin ajaib, mungkin itulah ciri khas sufi, kalo perkataan yang keluar dari lisannya tidak nyeleneh, mungkin bukan sufi lagi namanya. Padahal yang mengiming-imingi surga tersebut justru Allah sendiri sebagai pencipta surga, ****** akhir kutipan ****** Tulisan mereka tersebut adalah contoh korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang sebagai Zionis Yahudi Salah satu contoh penghasutnya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf. Laurens mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh mereka. Abuya Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari Assyadzili dalam makalahnya pada pertemuan nasional dan dialog pemikiran yang kedua, 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H di Makkah al Mukarromah dan kutipan makalahnya ada dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/ mengatakan bahwa dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiyah (SLTP) di wilayah kerajaan dinasti Saudi , cetakan tahun 1424 Hijriyyah berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Shuufiyyah (aliran–aliran tasawuf) adalah syirik dan keluar dari agama. Padahal 3/4 penduduk muslim seluruh dunia adalah sufiyyah dan seluruhnya terikat dan meramaikan padepokan (zaawiyah) mereka dengan tasawuf. Begitupula Habib Muhammad Rizieq Shihab dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=hlCdzVo8Ueo dan http://www.youtube.com/watch?v=DZdjU2H6hpA menjelaskan **** awal kutipan transkrip video yang pertama **** Karena itu saya sangat prihatin terbit sebuah buku dengan judul “Mulia dengan manhaj salaf”. Judulnya bagus betul. Diterbitkan oleh pustaka At Taqwa, Yang menulis Yazid bin Abdul Qodir. Kenapa saya prihatin dengan kehadiran buku ini. Kalau kita buka pada bab yang ketigabelas yaitu bab yang terakhir. Disini penulis menyebutkan firqoh-firqoh sesat dan menyesatkan. Yang nomor delapan disebutkan Asy’ariah. Yang nomor sembilan disebut Maturidiyah. Kemudian yang nomor empat belas atau yang nomor tiga belas Shufiyah, ahli tasawuf. Yang nomor empat belas Jama’ah Tabligh. Yang nomor lima belas Ikhwanul Muslimin. Yang nomor tujuh belas Hizbut Tahrir. dan nomor dua puluh tujuhnya Jaringan Islam Liberal. Jadi Asy’ariyah, Maturidiyah, ini yang merupakan representatif, mewakili Ahlussunnah wal Jama’ah dimasukkan dalam satu kelompok dengan kalangan liberal yang notabene sesat menyesatkan. Bahkan dengan mudahnya dia katakan Jama’ah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin juga masuk firqoh sesat. Apakah yang semacam ini tidak memecah belah umat ? Jadi kalau penulis ini ingin menyebarluaskan pahamnya, silahkan itu urusan dia. Kalau dia meyakini akidah yang dipercayainya merupakan aqidah yang benar, ttu urusan dia. Kalau dia merasa pendapatnya adalah pendapat yang paling benar, itu urusan dia. Tapi kalau dia mengkafirkan kelompok-kelompok umat Islam dari saudara-saudara kaum musliminnya dia tidak punya hak. Buku-buku semacam ini memecah belah umat. Kalau pengarang ini merasa bahwa Wahhabi adalah ajaran yang paling benar, silahkan. Dia menamakan dirinya pengikut Salafi atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama istilah Wahhabi. Kalau dia merasa Salafi Wahhabi paling benar, hak dia. Kalau dia merasa paling suci, hak dia. Kalau dia merasa paling lurus, hak dia. Tapi dia tidak punya hak untuk sesat menyesatkan, kafir mengkafirkan sesama umat Islam. ***** akhir kutipan transkrip video ***** Imam Al Baihaqi ketika menjelaskan perkataan Imam Syafi’i , “Kalau seandainya seorang laki-laki mengamalkan tashawuf di awal siang, maka tidak tidak sampai kepadanya dhuhur kecuali ia menjadi kekurangan akal (dungu).” mengatakan bahwa “sesungguhnya yang dituju dengan perkataan itu adalah siapa yang masuk kepada ajaran sufi namun mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya, dan tulisan daripada hakikatnya, dan ia meninggalkan usaha dan membebankan kesusahannya kepada kaum Muslim, ia tidak perduli terhadap mereka serta tidak mengindahkan hak-hak mereka, dan tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau sifatkan di kesempatan lain.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/208) Imam Al Baihaqi juga menjelaskan maksud perkataan Imam Syafi’ , ”Seorang sufi tidak menjadi sufi hingga ada pada dirinya 4 perkara, malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-lebihan.” mengatakan bahwa ”Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207) Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat). Jelas, bahwa Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena perilaku mereka yang mengatasnamakan sufi namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka. (lihat, Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207) Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’I memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalangan sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’. Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164) Walhasil, Imam As Syafi’I disamping mencela sebagian penganut sufi beliau juga memberikan pujian kepada sufi lainnya. Dan Imam Al Baihaqi menilai bahwa celaan itu ditujukan kepada mereka yang menjadi sufi hanya dengan sebutan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya dan Imam As Syafi’i juga berinteraksi dan mengambil manfaat dari kelompok ini. Begitupula adanya upaya pemalsuan kitab diwan al-Imam asy-Syafi’i sebagaimana yang telah dijelaskan contohnya pada http://www.sarkub.com/2011/pemalsuan-kitab-diwan-imam-asy-syafii/ Mereka menghilangkan beberapa bait syair Imam Syafi’I yang sangat vital terkait tasawuf yakni Jadilah ahli fikih dan sufi sekaligus, jangan hanya salah satunya. Sungguh demi Allah, saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang ini (yang hanya mempelajari ilmu fikih tapi tidak mau menjalani tasawuf), maka hatinya keras dan tidak dapat merasakan lezatnya taqwa. Sebaliknya, orang yang itu (yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari fikih), maka ia akan bodoh, sehingga bagaimana bisa dia menjadi baik (muslim yang ihsan) Begitupula Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar tidak menjadi manusia yang rusak (berakhlak tidak baik). Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“ Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…” Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “Pokok-pokok metode ajaran tasawuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawuf halaman : 20, Imam Nawawi) Salah satu pelopor tasawuf dari kalangan Tabi’in , Al Hasan al-Basri ra (Madinah,21H/642M – Basrah,110 H/728M), berkata: ”Barangsiapa yang memakai tasawuf karena tawaduk (kepatuhan) kepada Allah akan ditambah Allah cahaya dalam diri dan Hatinya, dan barang siapa yang memakai tasawuf karena kesombongan kepadanya akan dicampakkan kedalam neraka”. Tujuan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi yang berupaya menjauhkan kaum muslim dari tasawuf adalah dalam rangka merusak akhlak kaum muslim sebagaimana mereka menyebarluaskan pornografi, gaya hidup bebas, liberalisme, sekulerisme, pluralisme, hedonisme dan lain lain. Tasawuf adalah istilah yang dipergunakan untuk segala perkara terkait dengan akhlak atau segala perkara terkait dengan ihsan Silahkan periksa kurikulum atau silabus pada perguruan tinggi Islam maka tasawuf adalah ihsan atau akhlak. Contoh silabus pada tingkatan sekolah lanjutan dapat dilihat pada http://img.docstoccdn.com/thumb/orig/125464278.png Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/ bahwa Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak dan Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sangat menyayangkan sirnanya pendidikan tasawuf (pendidikan akhlak) dalam kurikulum pendidikan di negeri kita. Al Habib Luthfi ketika ditanya apa pandangan-pandangan beliau tentang tasawuf. Beliau menjelaskan sebagaimana yang termuat pada http://www.habiblutfiyahya.net/index.php?Itemid=18&catid=34:berita&id=133:pengamalan-tasawuf-ala-al-habib-luthfi&lang=ar&option=com_content&view=article ***** awal kutipan ***** Tasawuf adalah pembersih hati. Dan tasawuf itu ada tingkatan-tingkatannya. Yang terpenting, bagaimana kita bisa mengatur diri kita sendiri. Semisal memakai baju dengan tangan kanan dahulu, lalu melepaskannya dengan tangan kiri. Bagaimana kita masuk masjid dengan kaki kanan dahulu. Dan bagaimana membiasakan masuk kamar mandi dengan kaki kiri dulu dan keluar dengan kaki kanan. Artinya bagaimana kita mengikuti sunah-sunah Nabi. Itu sudah merupakan bagian dari tasawuf. Para orang tua kita dulu sebenarnya sudah mengeterapkan tasawuf. Hanya saja hal itu tak dikatakannya dengan memakai istilah tasawuf. Mereka terbiasa mengikuti tuntunan Rasulullah. Seperti ketika mereka menerima pemberian dengan tangan kanan, berpakaian dengan memakai tangan kanan dahulu. Mereka memang tak mengatakan, bahwa itu merupakan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Tapi mereka mengajarkan untuk langsung diterapkannya. Kini kita tahu kalau yang diajarkannya itu adalah merupakan tuntunan Nabi. Itu adalah tasawuf. Sebab tasawuf itu tak pernah terlepas dari nilai-nilai akhlaqul karimah. Sumber tasawuf itu adalah adab. Bagaimana adab kita terhadap kedua orang tua, bagaimana adab pergaulan kita dengan teman sebaya, bagaimana adab kita dengan adik-adik atau anak-anak kita. Bagaimana adab kita terhadap lingkungan kita. Termasuk ucapan kita dalam mendidik orang-orang yang ada di bawah kita. Kepada anak-anak kita yang aqil baligh, kita harus bener-bener menjaganya agar jangan sampai mengeluarkan ucapan yang kurang tepat kepada mereka. Sebab ucapan itu yang diterima dan akan hidup di jawa anak-anak kita. ***** akhir kutipan ***** Begitupula ketika Al Habib Luthfi ditanyakan apa yang sebenarnya menarik dari Al-Habib, sehingga begitu getol menekuni dunia tasawuf, beliau menjawab ***** awal kutipan ***** Yang menarik, karena tasawuf itu mengajarkan pembersihan hati. Saya ingin mempunyai hati yang sangat bersih. Jadi tak sekedar bersih tidak sombong karena ilmunya, tidak sombong karna setatusnya, tidak sombong karena ini dan itu. Namun hati ini betul-betul mulus, selalu melihat kepada kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada kita. Itu karena fadhalnya Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sehingga kita tidak lagi mempunyai prasangka-prasangka yang buruk, apalagi berpikiran jelek dalam pola pikir dan lebih-lebih lagi di hati. Sebab tasawuf itu tazkiyatul qulub, yakni untuk membersihkan hati. Jika hati kita ini bersih, maka hal-hal yang selalu menghalangi-halangi hubungan kita kepada Allah itu akan sirna dengan sendirinya. Sehingga kita senantiasa mengingat Allah. Ibarat besi, hati kita itu sebenarnya putih bersih. Hanya karena karatan yang bertumpuk-tumpuk lantaran tak pernah kita bersihkan, sehingga cahaya hati itu tertutup oleh tebalnya karat tadi. Na’udzubillah kalau sampai hati kita seperti itu. ***** akhir kutipan ***** Mereka mengartikan dan memahami sendiri perkatan imam Syafi’i atau perkataan ulama tasawuf (kaum sufi) karena mereka memang sudah terbiasa memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri meneladani dan mengikuti ulama Najed yakni Muhammad bin Abdul Wahhab sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/11/05/pemahaman-sahabat/ Mereka dalam memahami perkataan ulama tasawuf (kaum sufi) kurang memperhatikan ilmu balaghah (sastra Arab) seperti makna majaz (makna kiasan) atau makna di balik yang tertulis (makna tersirat), serupa dengan mereka dalam memahami sifat yang Allah telah menetapkan bagi diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau selalu memahaminya dengan makna dzahir atau makna apa yang tertulis (makna tersurat) sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/11/05/cara-memahami-sifatnya/ Benarkah kita beribadah kepada Allah ta’ala karena surga atau karena takut neraka atau karena ciptaanNya bukan karena Allah ta’ala semata ? Allah Azza wa Jalla telah menetapkan siapa-siapa yang akan masuk surga dan siapa yang masuk neraka jauh sebelum manusia itu lahir. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada seorangpun dari kalian dan juga tidak satupun jiwa yang bernafas melainkan telah ditentukan tempatnya di surga atau di neraka dan melainkan sudah ditentukan jalan sengsaranya atau bahagianya. Kemudian ada seorang yang berkata,: Wahai Rasulullah, dengan begitu apakah kita tidak pasrah saja menunggu apa yang sudah ditentukan buat kita dan kita tidak perlu beramal?. Karena barangsiapa diantara kita yang telah ditentukan sebagai orang yang berbahagia, maka pasti dia sampai kepada amalan orang yang berbahagia, sebaliknya siapa diantara kita yang telah ditentukan sebagai orang yang sengsara maka pasti dia akan sampai kepada amalan orang yang sengsara. Maka Beliau bersabda: (Tidak begitu). Akan tetapi siapa yang telah ditetapkan sebagai orang yang berbahagia, dia akan dimudahkan untuk beramal amalan orang yang berbahagia dan sebaliknya orang yang telah ditetapkan sebagai orang yang akan sengsara maka dia pasti akan dimudahkan beramal amalan orang yang sengsara. Kemudian Beliau membaca firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala QS Al Lail [92]:5-6 Fa’ammaa man ‘athaa wattaqqa wa shaddaqa bil husnaa yang artinya: “Adapun orang yang memberikan dan bertakwa serta membenarkan kebaikan” (HR Bukhari 1274) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda bahwa penciptaan salah seorang diantara kalian dihimpun dalam perut ibunya selama empat puluh hari, atau empat puluh malam, kemudian menjadi segumpal darah dalam empat puluh hari berikutnya, kemudian menjadi segumpal daging dalam empat puluh hari berikutnya, kemudian Allah mengutus malaikat kepadanya dan memerintahkan untuk menetapkan empat kalimat (empat hal); tentang rejekinya, ajalnya, amalnya, sengsara ataukah bahagia. Kemudian Allah meniupkan ruh padanya, sungguh ada salah seorang diantara kalian yang melakukan amalan-amalan penghuni surga hingga tak ada jarak antara dia dan surga selain sehasta, namun kemudian takdir telah mendahului dia, lantas ia pun melakukan amalan penghuni neraka dan akhirnya masuk neraka. Dan sungguh ada salah seorang diantara kalian yang melakukan amalan penghuni neraka, hingga tak ada jarak antara dia dan neraka selain sehasta, namun kemudian takdir mendahuluinya, lantas ia pun mengamalkan amalan penghuni surga sehingga ia memasukinya.” (HR Bukhari 6900) Jadi, Allah Qadirun bi Qudratihi (Allah Berkuasa dengan Kekuasaan-Nya), Allah Muridun bi Iradatihi (Allah Berkehendak dengan Kehendak-Nya) telah menuliskan pada Lauhul Mahfudz segala seluruh skenario atau catatan kejadian di alam semesta termasuk siapa yang bahagia dan siapa yang sengsara, siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka. Kita pernah tahu riwayat seorang wanita yang pada akhirnya masuk neraka karena kejahatannya yakni mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan Telah menceritakan kepada kami Isma’il berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Nafi’ dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ada seorang wanita disiksa disebabkan mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan lalu wanita itupun masuk neraka. Nafi’ berkata; Beliau berkata: Sungguh Allah Maha Mengetahui bahwa kamu tidak memberinya makan dan minum ketika engkau mengurungnya dan tidak membiarkannya berkeliaran sehingga dia dapat memakan serangga tanah. (HR Bukhari 192) Kita pernah tahu pula riwayat seorang wanita yang tidak baik namun pada akhirnya masuk surga karena kebaikannya yakni memberi minum seekor anjing Telah bercerita kepada kami Al Hasan bin ash-Shobbah telah bercerita kepada kami Ishaq Al Azraq telah bercerita kepada kami ‘Auf dari Al Hasan dan Ibnu Sirin dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ada seorang wanita pezina yang diampuni dosanya disebabkan (memberi minum seekor anjing). Ketika dia berjalan ada seekor anjing dekat sebuah sumur yang sedang menjulurkan lidahnya dalam kondisi hampir mati kehausan. Wanita itu segera melepas sepatunya lalu diikatnya dengan kerudungnya kemudian dia mengambil air dari sumur itu. Karena perbuatannya itulah maka dia diampuni dosanya. Oleh karenanya dikatakan lebih baik mantan penjahat daripada mantan ustadz atau lebih baik mantan orang jahat daripada mantan orang baik karena yang diperlukan adalah akhir yang baik. Akhir yang baik semata-mata diperoleh dari orang-orang yang beribadah karena mengharapkan ridho Allah ta’ala semata. Sebagaimana doa yang dipanjatkan, “Ilahi Anta Maqsudi Waridhoka Matlubi” , Tuhan hanya Engkaulah yang kumaksud dan ridhoMu yang kuharap. Cara mendapatkan ridho Allah adalah dengan kita ridho menuhankan Allah Azza wa Jalla sehingga kita ridho terhadap ke-Maha Kuasa-anNya. Oleh karenanya ada perkataan seperti “Ya Tuhan, aku rela masuk ke neraka-Mu, asal Engkau ridha.” . Perkataan tersebut mengungkapan ke-ridho-annya terhadap ke-Maha Kuasa-anNya”. Kita masuk surga bukan karena amal perbuatan yang kita hadapkan kepadaNya namun karena keridhoan Allah ta’ala semata sehingga mendapatkan rahmatNya untuk dapat beribadah kepadaNya Jangan merasa senang, karena sudah beribadah, menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah Azza wa Jalla. Tetapi merasa senanglah, karena diberi kekuatan oleh Allah ta’ala, untuk beribadah, menjalankan perintah dan menjauhi larangan Rasa senang yang pertama adalah menyekutukan Allah ta’ala dengan kuasa kita. Pensekutuan Allah ta’ala ini umumnya tanpa disadari, Rasa senang yang kedua mentauhidkan Allah ta’ala dengan mengakui bahwa ibadah kita atas kuasa Allah Azza wa Jalla Laahaulaa walaaquw-wata il-laabillahil ‘aliy-yil ‘adziim. ”Tiada daya upaya dan kekuatan selain atas izin/pertolongan Allah” Nasehat Syaikh Ibnu Athoillah, “Seandainya Anda tidak dapat sampai (berjumpa) kehadhirat Allah, sebelum Anda menghapuskan dosa-dosa kejahatan dan noda-noda keangkuhan yang melekat pada diri anda, tentulah anda tidak mungkin sampai kepada-Nya selamanya. Tetapi apabila Allah menghendaki agar anda dapat berjumpa denganNya, maka Allah akan menutupi sifat-sifatmu dengan sifat-sifat Kemahasucian-Nya , kekuranganmu dengan Kemahasempurnaan-Nya. Allah Ta’ala menerima engkau dengan apa yang Dia (Allah) karuniakan kepadamu, bukan karena amal perbuatanmu sendiri yang engkau hadapkan kepada-Nya.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadits, “Lan yadhula ahadukumul jannata bi ‘amalihi”. Seseorang tidak akan masuk surga karena amalnya semata-mata. Kemudian salah seorang bertanya, “Wa laa anta yaa Rasuulallaahi?” Tidak pula engkau ya Rasulullah? Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Wa laa anaa illa an yataghamada niiyallaahu bi rahmatihi.” Tidak juga aku, melainkan Allah mengkaruniai aku dengan rahmat-Nya Habib Munzir Almusawa menyampaikan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa orang yang beramal karena takut pada neraka, maka itu adalah ibadah para budak, karena taatnya hanyalah karena takut, dan barangsiapa yang beramal karena ingin surga, maka itu amalan para pedagang, karena diotaknya hanya ingin untung, dan barangsiapa yang beribadah karena ingin dekat dengan Allah, itulah orang orang yang merdeka. Ketiga kelompok ini tetap dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun tentunya yang paling mulia adalah yang beribadah karena tak menginginkan apa apa selain kedekatan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, banyak pula teriwayatkan hal seperti ini dari kalangan Sahabat Radhiyallahu ‘anhum, mereka merindukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Allah merindukan mereka, sebagaimana sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang merindukan perjumpaan dengan Allah maka Allah merindukan perjumpaan dengannya” An-Nafzi Ar-Randi dan Abu Thalib Al-Makki meriwayatkan dari Abu Hazim Al-Madani yang berkata: “Aku malu kepada Tuhanku jika aku menyembah-Nya karena takut siksa. Kalau begitu, aku seperti orang jahat yang jika tidak takut, maka ia tidak akan… beramal. Aku juga malu kepada-Nya jika aku menyembah-Nya karena mengharap pahala-Nya, karena jika aku menyembah-Nya karena mengharap pahala-Nya maka dengan cara seperti itu aku seperti buruh yang jahat yang jika tidak diberi gaji maka ia tidak mau bekerja, namun aku menyembah-Nya karena cinta kepada-Nya.” (Ghautsu Al-Mawahibi Al-Aliyyati, AN-Nafzi Ar-Randi, Jilid I, hal. 242. Juga Qutu Al-Qulubi, Abu Thalib Al-Makki, Jilid II, hal. 56). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah manusia yang paling mencintai Allah ta’ala. Beliau menyembah Allah ta’ala karena mencintaiNya dan Allah ta’ala paling mencintai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Oleh karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sangat mencintai Allah ta’ala maka beliau takut kepada Allah ta’ala yakni takut untuk melakukan sesuatu yang dibenciNya atau yang dimurkaiNya. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11) Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28) Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan. Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad) Firman Allah ta’ala yang artinya, “Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4) “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21) Muslim yang memandang Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya. Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)” Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“ Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari) Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati” Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.” Dalam sebuah wawancara dengan Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) , beliau mengatakan bahwa untuk dapat melihat Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi, tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak baik, baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar mengisi kebaikan, berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki. Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya. Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat. Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar. Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“ Sungguh celaka orang yang tidak berilmu. Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu Sungguh celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan. Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak (ihsan) Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh). Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong. Para ulama tasawuf atau kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh). Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim) Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim) Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad) Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“ Sayyidina Umar ra juga menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati. Firman Allah ta’ala yang artinya, shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18) shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171) “maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46) “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72) Muslim yang memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh) adalah muslim yang dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Mereka meraih manzilah (maqom / derajat) di sisiNya dan berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Firman Allah ta’ala yang artinya, ”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21) “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47) “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13) “Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7) “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69) Jadi orang-orang yang selalu berada dalam kebenaran atau selalu berada di jalan yang lurus adalah orang-orang yang diberi karunia ni’mat oleh Allah atau orang-orang yang telah dibersihkan atau disucikan atau dipelihara oleh Allah ta’ala sehingga terhindar dari perbuatan keji dan mungkar dan menjadikannya muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah dan yang terbaik adalah muslim yang dapat menyaksikanNya dengan hatinya (ain bashiroh). Mereka adalah para kekasih Allah atau wali Allah Hubungan yang tercipta antara Allah ta’ala dengan al-awliya (para wali Allah) menurut Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan). Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadiranNya, hudhur ma’ahu wa bihi. Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (para wali / kekasih); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya (para wali / kekasih) dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda. Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya. Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni ‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi), ‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali), ‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya). Jadi jika Allah telah mencintai hambaNya maka akan terpelihara (terhindar) dari dosa atau jikapun mereka berbuat kesalahan maka akan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia. Imam Mazhab yang empat, para ulama yang sholeh yang mengikuti mereka termasuk para ulama yang sholeh dari kalangan Habib atau ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallallahu alaihi wasallam memang tidak maksum namun mereka boleh saja mendapatkan ‘ishmah para wali sesuai dengan manzilah (maqom / derajat) atau kedekatan mereka dengan Allah Azza wa Jalla. Berikut contoh pemeliharaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap kekasihNya Imam asy-Syafi’i berkata: ‘Saya mengadu kepada Waqi’ (guru beliau) buruknya hafalanku, maka dia menasihatiku agar meninggalkan maksiat. Dan ia mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada pelaku maksiat”. Setelah Imam asy Syafi’i merunut (mencari tahu) kenapa beliau lupa hafalan Al-Qur’an (hafalan Al-Qur`ânnya terbata-bata), ternyata dikarenakan beliau tanpa sengaja melihat betis seorang wanita bukan muhrim yang tersingkap oleh angin dalam perjalanan beliau ke tempat gurunya. ‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatkan dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”Tidak seorangpun yang mempelajari Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakannya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala : وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ (“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri” (QS Asy-Syûra [42]: 30)- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar * (. Fadha`ilul-Qur`ân, karya Ibnu Katsir, hlm. 147) Itulah contoh mereka yang disayang oleh Allah ta’ala dan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia.. Sedangkan ulama su’u adalah mereka yang tidak menyadarinya atau tidak disadarkan oleh Allah Azza wa Jalla atas kesalahannya atau kesalahpahamannya sehingga mereka menyadarinya di akhirat kelak. Wallahu a’lam. Tentang ulama yang baik dan ulama yang buruk (su’u) telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/23/ulama-baik-dan-buruk/ Muslim yang dekat dengan Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah) dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada. Wajah mereka bercahaya sebagaiman yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/16/wajah-bercahaya/ Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya) Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62) Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/31/sayyid-kaum-bertaqwa/ bahwa bagi kaum muslim yang mengenal dan mengetahui para Wali Allah sangat ikhlas memanggil sayyidina bagi Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena Beliau adalah sekaligus pemimpin atau Imam para Wali Allah Riwayat dari Sa’ad bin Abi Waqash, Aku mendengar khutbah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hari Jum’at. Ia memegang lengan Ali dan berkhutbah dengan didahului lafaz pujian kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan memuji-Nya. Kemudin beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku adalah wali bagi kalian semua“. Mereka menjawab, “Benar apa yang engkau katakan wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam“. Kemudian beliau mengangkat lengan Ali dan bersabda. “Orang ini adalah waliku, dan dialah yang akan meneruskan perjuangan agamaku. “Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui (meyakini) Ali sebagai wali, dan aku juga merupakan orang yang akan memerangi orang yang memeranginya“ Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda“Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui (meyakini) Ali sebagai wali” maksudnya hanya muslim tertentu yang dapat mengakui (meyakini) Sayyidina Ali ra sebagai Wali Allah atau imamnya para Wali Allah. Mereka adalah orang-orang yang dapat meyakini pula bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah imamnya para Wali Allah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegaskannya dengan kalimat “aku juga merupakan orang yang akan memerangi orang yang memeranginya“. Serupa dengan hadits qudsi, “Allah ta’ala berfirman “Siapa yang memusuhi wali-KU, maka Aku umumkan perang kepadanya“ (HR Bukhari 6021) Jadi apa yang diperselisihkan oleh kaum Syiah bahwa Sayyidina Abu Bakar ra ataupun Sayyidina Umar ra “merebut” kepemimpinan atau khalifah dari Imam Sayyidina Ali ra atau bahkan anggapan keji bahwa Sayyidina Abu Bakar ra ataupun Sayyidina Umar ra mengkhianati ketetapan Rasulullah di Ghadir Khum adalah merupakan kesalahpahaman karena sesungguhnya kepemimpinan pada wilayah yang berbeda. Para Wali Allah (kekasih Allah) adalah penerus setelah khataman Nabiyyin ditugaskan untuk “menjaga” agama Islam. Rasulullah mengkiaskannya dengan estafet (penyerahan) “bendera”. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ali, -ketika beliau mengangkatnya sebagai pengganti (di Madinah) dalam beberapa peperangan beliau. Ali bertanya; Apakah anda meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak! beliau menjawab: Wahai Ali, tidakkah kamu rela bahwa kedudukanmu denganku seperti kedudukan Harun dengan Musa? hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Dan saya juga mendengar beliau bersabda pada Perang Khaibar; Sungguh, saya akan memberikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan RasulNya dan Allah dan RasulNya juga mencintainya. Maka kami semuanya saling mengharap agar mendapatkan bendera itu. Beliau bersabda: Panggilllah Ali! (HR Muslim 4420) Imam Sayyidina Ali ra adalah bertindak sebagai Nabi namun bukan Nabi karena tidak ada Nabi setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau adalah Imam para Wali Allah Bumi ini tidak pernah kosong dari para Wali Allah dan Imamnya yang akan menjaga agamaNya dan syariatNya. Berapa jumlah mereka dan di manakah mereka berada hanya Allah ta’ala yang mengetahuinya. Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka” (Nahjul Balaghah hal 595 dan Al Hilya jilid 1 hal. 80) Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya” Abu Yazid al Busthami mengatakan: “Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya“. Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab: “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.” As Sarraj at-Tusi mengatakan : “Jika ada yang menanyakan kepadamu perihal siapa sebenarnya wali itu dan bagaimana sifat mereka, maka jawablah : Mereka adalah orang yang tahu tentang Allah dan hukum-hukum Allah, dan mengamalkan apa yang diajarkan Allah kepada mereka. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang tulus dan wali-wali-Nya yang bertakwa“. Dari Abu Umamah ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “berfirman Allah Yang Maha Besar dan Agung: “Diantara para wali-Ku di hadhirat-Ku, yang paling menerbitkan iri-hati ialah si mu’min yang kurang hartanya, yang menemukan nasib hidupnya dalam shalat, yang paling baik ibadat kepada Tuhannya, dan taat kepada-Nya dalam keadaan tersembunyi maupun terang. Ia tak terlihat di antara khalayak, tak tertuding dengan telunjuk. Rezekinya secukupnya, tetapi iapun sabar dengan hal itu. Kemudian Beliau shallallahu alaihi wasallam menjentikkan jarinya, lalu bersabda: ”Kematiannya dipercepat, tangisnya hanya sedikit dan peninggalannya amat kurangnya”. (HR. At Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hanbal)”. Para Wali Allah (kekasih Allah) , jika melihat mereka mengingatkan kita kepada Allah Dari Amru Ibnul Jammuh, katanya: “Ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Allah berfirman: “Sesungguhnya hamba-hambaKu, wali-waliKu adalah orang-orang yang Aku sayangi. Mereka selalu mengingatiKu dan Akupun mengingat mereka.” (Hadis riwayat Abu Daud dalam Sunannya dan Abu Nu’aim dalam Hilya jilid I hal. 6) Dari Said ra, ia berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya: “Siapa wali-wali Allah?” Maka beliau bersabda: “Wali-wali Allah adalah orang-orang yang jika dilihat dapat mengingatkan kita kepada Allah.”(Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Auliya’ dan Abu Nu’aim di dalam Al Hilya Jilid I hal 6) Imam Al-Bazzaar meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia mengatakan, seseorang bertanya, ya Rasulullah shallalahu alaihi wasallam, siapa para wali Allah itu? Beliau menjawab, “Orang-orang yang jika mereka dilihat, mengingatkan kepada Allah,” (Tafsir Ibnu Katsir III/83). Para Wali Allah (kekasih Allah) selalu sabar, wara’ dan berbudi pekerti yang baik. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ada tiga sifat yang jika dimiliki oleh seorang, maka ia akan menjadi wali Allah, iaitu: pandai mengendalikan perasaannya di saat marah, wara’ dan berbudi luhur kepada orang lain.” (Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Al Auliya’)“ Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wahai Abu Hurairah, berjalanlah engkau seperti segolongan orang yang tidak takut ketika manusia ketakutan di hari kiamat. Mereka tidak takut siksa api neraka ketika manusia takut. Mereka menempuh perjalanan yang berat sampai mereka menempati tingkatan para nabi. Mereka suka berlapar, berpakaian sederhana dan haus, meskipun mereka mampu. Mereka lakukan semua itu demi untuk mendapatkan redha Allah. Mereka tinggalkan rezeki yang halal karena akan amanahnya. Mereka bersahabat dengan dunia hanya dengan badan mereka, tetapi mereka tidak tertipu oleh dunia. Ibadah mereka menjadikan para malaikat dan para nabi sangat kagum. Sungguh amat beruntung mereka, alangkah senangnya jika aku dapat bertemu dengan mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menangis karena rindu kepada mereka. Dan beliau bersabda: “Jika Allah hendak menyiksa penduduk bumi, kemudian Dia melihat mereka, maka Allah akan menjauhkan siksaNya. Wahai Abu Hurairah, hendaknya engkau menempuh jalan mereka, sebab siapapun yang menyimpang dari penjalanan mereka, maka ia akan mendapati siksa yang berat”. (Hadis riwayat Abu Hu’aim dalam kitab Al Hilya) Para Wali Allah (kekasih Allah) suka menangis dan mengingat Allah. ‘Iyadz ibnu Ghanam menuturkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Malaikat memberitahu kepadaku: “Sebaik-baik umatku berada di tingkatan-tingkatan tinggi. Mereka suka tertawa secara terang, jika mendapat nikmat dan rahmat dari Allah, tetapi mereka suka menangis secara rahasia, karena mereka takut mendapat siksa dari Allah. Mereka suka mengingat Tuhannya di waktu pagi dan petang di rumah-rumah Tuhannya. Mereka suka berdoa dengan penuh harapan dan ketakutan. Mereka suka memohon dengan tangan mereka ke atas dan ke bawah. Hati mereka selalu merindukan Allah. Mereka suka memberi perhatian kepada manusia, meskipun mereka tidak dipedulikan orang. Mereka berjalan di muka bumi dengan rendah hati, tidak congkak, tidak bersikap bodoh dan selalu berjalan dengan tenang. Mereka suka berpakaian sederhana. Mereka suka mengikuti nasihat dan petunjuk Al Qur’an. Mereka suka membaca Al Qur’an dan suka berkorban. Allah suka memandangi mereka dengan kasih sayangNya. Mereka suka membahagikan nikmat Allah kepada sesama mereka dan suka memikirkan negeri-negeri yang lain. Jasad mereka di bumi, tapi pandangan mereka ke atas. Kaki mereka di tanah, tetapi hati mereka di langit. Jiwa mereka di bumi, tetapi hati mereka di Arsy. Roh mereka di dunia, tetapi akal mereka di akhirat. Mereka hanya memikirkan kesenangan akhirat. Dunia dinilai sebagai kubur bagi mereka. Kubur mereka di dunia, tetapi kedudukan mereka di sisi Allah sangat tinggi. Kemudian beliau menyebutkan firman Allah yang artinya: “Kedudukan yang setinggi itu adalah untuk orang-orang yang takut kepada hadiratKu dan yang takut kepada ancamanKu.” (Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam Hilya jilid I, hal 16) Para wali Allah jika mereka meminta akan dikabulkanNya Dalam sebuah hadits Qudsi Allah ta’ala berfirman “jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (HR Bukhari 6021) Dari Anas ibnu Malik ra berkata: “Rasul shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Berapa banyak manusia lemah dan dekil yang selalu dihina orang, tetapi jika ia berkeinginan, maka Allah memenuhinya, dan Al Barra’ ibnu Malik, salah seorang di antara mereka.” Ketika Barra’ memerangi kaum musyrikin, para Sahabat: berkata: “Wahai Barra’, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda: “Andaikata Barra’ berdoa, pasti akan terkabul. Oleh karena itu, berdoalah untuk kami.” Maka Barra’ berdoa, sehingga kami diberi kemenangan. Di medan peperangan Sus, Barra’ berdo’a: “Ya Allah, aku mohon, berilah kemenangan kaum Muslimin dan temukanlah aku dengan NabiMu.” Maka kaum Muslimin diberi kemenangan dan Barra’ gugur sebagai syahid. Suatu hari Umar r.a. kedatangan rombongan dari Yaman, lalu ia bertanya: “Adakah di antara kalian yang datang dari suku Qarn?”. Lalu seorang maju ke dapan menghadap Umar. Orang tersebut saling bertatap pandang sejenak dengan Umar. Umar pun memperhatikannya dengan penuh selidik. “Siapa namamu?” tanya Umar. “Aku Uwais”, jawabnya datar. “Apakah engkau hanya mempunyai seorang Ibu yang masih hidup?, tanya Umar lagi. “Benar, Amirul Mu’minin”, jawab Uwais tegas. Umar masih penasaran lalu bertanya kembali “Apakah engkau mempunyai bercak putih sebesar uang dirham?” (maksudnya penyakit kulit berwarna putih seperti panu tapi tidak hilang). “Benar, Amirul Mu’minin, dulu aku terkena penyakit kulit “belang”, lalu aku berdo’a kepada Allah agar disembuhkan. Alhamdulillah, Allah memberiku kesembuhan kecuali sebesar uang dirham di dekat pusarku yang masih tersisa, itu untuk mengingatkanku kepada Tuhanku”. “Mintakan aku ampunan kepada Allah”. Uwais terperanjat mendengar permintaan Umar tersebut, sambil berkata dengan penuh keheranan. “Wahai Amirul Mu’minin, engkau justru yang lebih behak memintakan kami ampunan kepada Allah, bukankah engkau sahabat Nabi?” Lalu Umar berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “Sesungguhnya sebaik-baik Tabi’in adalah seorang bernama Uwais, mempunyai seorang ibu yang selalu dipatuhinya, pernah sakit belang dan disembuhkan Allah kecuali sebesar uang dinar di dekat pusarnya, apabila ia bersumpah pasti dikabulkan Allah. Bila kalian menemuinya mintalah kepadanya agar ia memintakan ampunan kepada Allah” Uwais lalu mendoa’kan Umar agar diberi ampunan Allah. Lalu Uwais pun menghilang dalam kerumunan rombongan dari Yaman yang akan melanjutkan perjalanan ke Kufah. (HR Ahmad) Riwayat tersebut bukan berarti Sayyidina Umar ra tidak termasuk wali Allah (kekasih Allah) namun sekedar mengabarkan Uwais ra adalah seorang wali Allah di antara Tabi’in Seluruh Khulafaur Rasyidin adalah wali Allah (kekasih Allah) karena mereka termasuk Assab’ul-matsani sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/16/yang-dikaruniai-nikmatnya/ Wassalam Sumber http://mutiarazuhud.wordpress.com/

Pujian Bagi Rasulullah

Pujian bagi Rasulullah Kesalahpahaman tentang hadits, “Jangan puji aku secara berlebihan” Saya sependapat bahwa pujian bagi Rasulullah saw tidak ada batasnya asalkan tidak menjadikan Beliau sebagai anak Tuhan sebagaimana kesesatan umat Nashrani. Pujian bagi Rasulullah tidak ada batas, berapapun pujian yang dihaturkan manusia maka Allah ta’ala akan membalas sepuluh kali Dari Abdurrahman Bin Auf RA berkata : Aku telah melihat Nabi SAW bersujud sekali yang lama, kemudian beliau mengangkat kepala beliau, maka aku bertanya kepada beliau tentang hal tersebut maka beliau menjawab “Sesungguhnya jibril AS menemuiku dan berkata : Sesungguhnya barang siapa yang bersholawat atasmu Muhammad maka Allah bersholawat atasnya, dan barang siapa yang bersalam atasmu, maka Allah bersalam keatasnya, Nabi bersabda : Berapakah jumlahnya, Jibrill menjawab : sepuluh, maka nabi melanjutkan bersabda “Maka aku bersujud kepada Allah Azza Wajalla sebagai rasa Syukur (Sujud syukur)” (Dikeluarkan dari Ibn Abi ‘Ashim dan ismail) Dari Hibban ibnu Munkidz RA bahwasanya terdapat seorang laki2 berkata kepada Rosulullah SAW : Wahai Rosulullah SAW apakah aku boleh bersholawat atasmu tiga kali? Baginda Rosul SAW menjawab: “Iya jika engkau menginginkannya” kemudian pemuda itu bertanya kembali: Jikalau Tiga puluh (30)? maka Baginda menjawab ” Iya”, maka pemuda itu berkata : maka aku akan bersholawat kepadamu semuanya (yaitu 3 ditambah 30), maka Baginda Rosul SAW menjawab : Maka, allah akan mencukupkan apa yang menjadi kepentinganmu dari perkara dunia dan akhiratmu” (HR. Thabrani dalam Mu’jamah Al-Kabir) Tulisan untuk kesalahpahaman kali ini, saya mengambil secara keseluruhan tulisan dari http://albayan.hadithuna.com/2008/07/21/makna-hadist-jangan-puji-aku-secara-berlebihan/ Tulisan yang sangat baik dan semoga penulisnya mendapatkan rahmat dari Allah ta’ala. Marilah kita simak pahami tulisan beliau MAKNA HADIST ” JANGAN PUJI AKU SECARA BERLEBIHAN “ Sering kita mendengar propaganda yang melarang umat Islam memuji Nabi Muhammad saw. Di antara ucapan mereka yang tidak suka dengan amalan kita adalah, “Kita umat Islam tidak boleh mengkultuskan Rasulullah, tidak boleh memuji dan menyanjungnya secara berlebihan. Karena perbuatan itu merupakan bentuk kemusyrikan. Mereka berpendapat seperti itu karena melihat hadist hanya sekilas teks sehingga terjadi pemahaman yang salah tentang itu. Rasulullah bersabda: “Jangan memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Ahmad). Dari ucapan itu kita memahami, kalau memuji Rasul itu menurut mereka adalah mengkultuskan atau mendewakan Rasulullah saw. Sehingga mereka menganggap memuji-muji beliau (yang menurut mereka berlebihan) adalah termasuk musyrik. Ini adalah tuduhan keji dan fitnah yang berat bagi para pecinta Nabi Muhammad saw. Orang-orang itu tidak mengetahui makna dan tujuan hadist, sehingga pemahamannya salah. Para ulama di dalam berbagai kitabnya telah menjelaskan makna hadist itu dengan gamblang. Dalam hadist tersebut Rasulullah saw tidak pernah melarang umatnya untuk memujinya dalam bentuk apapun. Yang dilarang adalah pujian yg seperti dilakukan oleh Umat Nasrani kepada Nabi Isa bin Maryam, yaitu menjadikan beliau sebagai anak Tuhan. Inilah yang dimaksud dengan pujian berlebihan yang menjadikan musyrik, bukan pujian-pujian yang seperti biasa kita dengarkan dalam acara maulid Nabi Muhammad saw. Dan hadist di atas, juga tidak boleh dipotong seenaknya sehingga membuat maksud dan tujuan hadist itu salah. Karena jika kita memotong hadist itu dengan hanya berkata “Nabi bersabda: “Jangan puji aku secara berlebihan”, maka makna dan tujuan dari hadist itu menjadi kacau. Karena dari hadist itu sebenarnya yang dilarang oleh Rasulullah saw itu bukan pujiannya terhadap beliau, tetapi adalah menjadikan beliau sebagai “anak Tuhan”, seperti yang dilakukan oleh orang nasrani terhadap Nabi Isa as. Dan sejak larangan Nabi itu disampaikan hingga saat ini, tidak pernah ada seorangpun dari kalangan umat Islam yang memuji Rasulullah saw melebihi batasannya sebagai manusia. Sehingga benarlah apa yang disampaikan Imam Bushiri di dalam syair Burdahnya: “Tinggalkan pengakuan orang Nasrani atas Nabi mereka… Pujilah beliau (saw) sesukamu dengan sempurna… Sandarkanlah segala kemuliaan untuk dirinya… Dan nisbahkanlah sesukamu segala keagungan untuk kemuliaannya… Karena sesungguhnya kemuliaan Rasulullah tidak ada batasnya… Sehingga takkan ada lisan yang mampu mengungkapkan kemuliaannya itu… maka berfikirlah , fahamilah .. jangan menelan sebuah faham yang datang dari ustadz-ustaz jahil .. ( anak-anak ALBAYAN ) Sumber : http://mutiarazuhud.wordpress.com/

Wahyu Dan Akal

DIKOTOMIS ANTARA WAHYU DAN AKAL ABSTRAK Imam Ghazali sebagaimana ditulis dalam Ihya’ Ulumiddin, ada tiga hal yang dapat menyelamatkan manusia agar selamat dan terhindar dari bujuk rayu nafsu adalah: (1) akal, (2) ilmu, dan (3) ma’rifat. Akal adalah fitrah pemberian Allah kepada makhluk yang disebut manusia berupa kecerdasan dan naluri insaniyah. Berbeda dengan binatang yang tidak diberi akal sehingga mereka hidup dengan cara menyesuaikan dengan keadaan lingkungan di sekitarnya, maka dengan akalnya manusia bisa menguasai alam semesta dan isinya dan membuat alam sekelilingya untuk disesuaikan dengan kepentingan dan keperluannya, bahkan seleranya. Misalnya, kontur tanah yang tidak merata dan berbukit-bukit justru menjadi sangat indah setelah diolah dengan kecerdasan teknologis untuk menjadi lahan pemukiman. Melalui akalnya pula, manusia bisa membedakan hal-hal benar dan salah, baik dan buruk, pantas dan tidak pantas. Tak pelak, akal menjadi penentu harkat dan martabat kemanusiaan manusia. Karena itu, manusia yang dalam tindakannya tidak menggunakan akal berada dalam derajad yang sangat rendah. Kata Kunci:Peran akal, wahyu, pandangan Islam. Wahyu dalam hal ini al Qur’an dan akal di satu sisi dalam Islam, sejatinya tidak mengenal adanya dikotomisasi. Kebenaran yang didapat melalui akal dalam titik tertentu bisa mempunyai kedudukan yang setingkat dengan wahyu. Ayat “fa’lam annahu la illaha ilallah” (ketahuilah, tidak ada Tuhan selain Allah) menunjukan bahwa beriman itu perlu ilmu (yakni melalui proses “mengetahui”), jadi ilmu dalam Islam adalah mendahului iman. Maka dari itu pintu masuknya bukanlah keimanan yang didasari oleh taqlid buta, tapi kesaksian yang penuh kesadaran (shahadah). Proses kesadaran (shahadah) inilah yang sebetulnya memberikan ruang bagi akal untuk mencapai kebenaran setingkat wahyu. Akal dalam hal ini melalui metode induksi (observasi dan eksperimen) (Ibn Rusydi), ia bisa membaca tanda-tanda alam dan menemukan kebenaran didalamnya. Wahyu (al Qur’an) adalah “inspirasi”, didalamnya terdapat hukum-hukum dan pengetahuan yang bersifat umum dan statmen-statmen final seperti dalam ayat mengenai masa dalam bumi, bahwa matahari beredar juga layaknya bumi pada jalurnya. Begitu juga dalam masalah hukum fiqh mengenai tatanan sosial dan bermasyarakat, dan perlu diingat fiqh tidak sekaku yang dibayangkan orang, ia punya mekanisme seperti qiyas yang memungkinkan fiqh itu berkembang, maka tak heran di masa-masa dinasti Abasyiah, bisa terjadi adanya perbedaan masalah fiqh di masing-masing daerah, misal masalah pajak, zakat dan sistem pemerintahan. Nah, pada titik tersebut akal memainkan peranannya yang sangat besar. Sebelum kita membahas tentang akal ada baiknya kita jelaskan mengenai logika, ia berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal. Logika tidak bisa terlepas dari filsafat karena ia merupakan studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal. Sementara itu untuk bermain dengan logika kita membutuhkan instrumen vital yang disebut dengan akal. Akal secara fitrahnya juga sudah tersetting untuk mendeskripsikan tentang kebenaran. Ia dapat mengetahui perbedaan perbuatan buruk dan baik, cinta dan benci, kebohongan dan kebenaran, yang bathil dan yang haq, dan kata Ibn Taimiyah “seandainya Allah tidak menurunkan agamanya, manusia dengan akalnya bisa mengetahui hakikat tentang Tuhannya dan kebenaran itu sendiri”. Namun, secara fitrah juga manusia punya kelemahan, lemah dalam menahan nafsu sehingga mudah tertipu daya, suka tergesa-gesa, tidak cermat, dan lain-lain. Maka disinilah urgensi Wahyu, sebab manusia tidak hanya perlu mengetahui hakikat kebenaran namun juga perlu ditunjukan jalan atas kebenaran itu sendiri. Wajar jikalau kemudian Ibn Taimiyah maupun Ibn Hazm memposisikan Aqal sebagai instrument syarat atau watak “gharizah”, hal ini perlu digaris bawahi. Sebab ketika akal difungsikan sebagai gharizah maka ia bisa sejajar dengan wahyu. Gharizah akal akan menjadi syarat bagi segala macam ilmu, apakah Rasional ataupun Irrasional, dan dalam kedudukannya sebagai syarat, akl tidak dapat bertentangan dengan wahyu. Demikian pula sebagai pengetahuan yang diperoleh dari gharizah tadi akal difahami sebagai pengetahuan akal yang jelas dan pasti kebenarannya (‘aqli qat’i). Dalam sejarah pemikiran Islam persoalan hubungan antara akal dan wahyu merupakan issue yang selalu hangat diperdebatkan oleh mutakallimun dan filosof. Issue ini menjadi penting karena ia memiliki kaitan dengan argumentasi -argumentasi, mereka dalam pembahasan tentang konsep Tuhan, konsep Ilmu Ilmu, konsep etika dan lain sebagainya. Mereka berorientasi pada usaha untuk membuktikan kesesuaian atau hubungan antara akal dan wahyu. (Lihat A.J.Arberry, Revelation and Reason in Islam). Dalam konteks ini konsep akal, wahyu dan ta’wil menjadi topik yang penting. Sejatinya keduanya berasumsi sama bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, tapi karena situasi sosial dan latar belakang pemikiran mereka tidak sama kesimpulan yang mereka hasilkan berbeda . Ibn Rushd tidak saja dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat yang beranggapan bahwa sains dan falsafah bertentangan dengan agama tapi juga oleh konflik-konflik yang terjadi antara ahli-ahli filsafat dan ilmu agama. Berbeda dari Ibn Rushd, perhatian Ibn Taymiyyah difokuskan pada pemahaman masyarakat tentang Islam yang dalam pandangannya telah dirusak oleh doktrin-doktrin sufism, teologi dan filsafat seperti yang nampak dalam amalan-amalan bid’ah di masyarakat. PERGULATAN ANTARA AKAL DAN WAHYU Masalah akal dan wahyu dalan pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks – manakah diantara keduanya, akal atau wahyu – sebagai sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban berterima kasih pada Tuhan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Aliran mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam rasional berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui keempat hal tersebut diatas. Sementara itu, aliran maturidiyah Samarkand yang juga penganut pemikiran kalam rasional, mengatakan bahwa kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk, akal mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal lainnya. Sebaliknya aliran asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan tiga hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, baik dan buruk, serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat, diketahui manusia berdasarkan wahyu. Sementara aliran Maturidiyah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikir kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut diatas, yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk dapat diketahui melalui akal, sedangkan dua hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih pada Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk, hanya diketahui dengan wahyu. Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand untuk menopang pendapat mereka adalah surat fushilat ayat 53,surat al-ghasyiyah ayat 17 dan surat al-a’raf ayat 185. Tiga ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Allah telah mewajibkan perenungan dan pemikiran terhadap ciptaanNya agar diketahui bahwa dia Maha pencipta. Ini berarti bahwa ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa wajib beriman kepada Allah sebelum turunnya wahyu. Karena manusia dengan kemampuan akalnya dapat mengetahui bahwa kekufuran itu haram, karena kekufuran itu sesuatu yang dibenci oleh Allah. Oleh sebab itu, dengan kemampuan akalnya manusia mampu mengetahui bahwa beriman pada Allah itu adalah wajib. Sementara itu. Aliran kalam tradisional mengambil beberapa ayat al-Qur’an sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat mereka. Ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat al-isra’, ayat 134 surat thaha, ayat 164 surat an-nisa’ dan ayat 8-9 surat al-mulk. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah baru memberikan ganjaran atas perbuatan manusia yang baik dan yang buruk setelah Nabi dan Rasul diutus. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan agama hanya bisa diketahui oleh manusia dengan perantaraan Nabi dan Rasul, tidak dengan akalnya semata-mata. Kewajiban-kewajiban baru ada setelah diberitahukan oleh Allah. Keimanan dan kekufuran tidak dapat diketahui kecuali dengan pengabaran seseorang yang diutus oleh Allah, demikian pula kewajiban tidaklah tergambar kecuali sesudah diutusnya rasul. Sedikit agak aneh memang, persoalan pertama yang muncul dalam Islam sebagai agama adalah bidang politik, bukan bidang teologi atau keagamaan. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan tidak pernah berhenti. Kesimpulannya, munculnya persoalan-persoalan aqidah dalam Islam seperti pelaku dosa besar apakah dia mukmin hanyalah berasal dari persoalan ”rebutan kursi” , jadi sangat-sangat subjektif. Sejak saat itulah persoalan-persoalan teologi berkembang dari hanya persoalan-persoalan pelaku dosa besar, menjadi bermacam-macam diskursus teologi yang melahirkan banyak sekali aliran-aliran yang tetap berpengaruh hingga sekarang. Demikian juga persoalan wahyu dan akal, merupakan persoalan yang mendapatkan porsi pembahasan lumayan besar dalam lingkup teologi (ilmu kalam) dalam Islam. Persoalan wahyu dan akal muncul sebagai bentuk merespon realitas yang terjadi diluar mereka apakah harus melihat dan memahaminya lewat akal atau lewat wahyu. Aliran-aliran teologi yang muncul dalam menyikapi ini secara garis besar dapat dibagi kepada dua mazhab yaitu mazhab rasional (ra’yu) yang diwakili oleh mu’tazilah dimana kemudian filosof tergabung didalamnya dan mazhab non rasional (wahyu), yang diwakili oleh teolog-teolog Islam konservatif dan fundamentalis yang sampai hari ini pengaruhnya ada pada ortodoksi Islam tertua yaitu Asy’ariah (Sunni/Ahlus Sunnah wal Jama’ah). Dalam sejarah Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan kufur adalah diskursus yang telah membawa pengaruh terhadap hasil karya besar dan spektakuler dalam kegemilangan peradaban Islam di ranah ilmu pengetahuan. Namun tidak selamanya diskursus ini penuh dengan kegemilangan, ada juga masa-masa suram dimana dengan diskursus ini pula telah mematikan kebebasan berfikir, dengan vonis kafir dan sesat kepada teolog, filsuf dan tokoh-tokoh tasawuf yang punya talenta luar biasa mengupas seluruh rahasia-rahasia semesta. Persoalan yang dihadapi saat ini adalah, diskursus wahyu dan akal, iman dan kufur telah dikuasai oleh ortodoksi Islam. Dalam wahyu dan akal, akal harus tunduk pada wahyu, artinya wahyu adalah yang utama. Dalam pandangan Asy’ariah akal adalah pelayan terhadap wahyu, mereka tidaklah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang dilakukan oleh Mu’tazilah. Demikian juga persoalan Iman dan kufur juga tidak terlepas dari cengkeraman ortodoksi Islam yang mengajarkan kepada umat Islam hari ini bahwa keselamatan hanya dimiliki oleh orang-orang beriman dan hanya ada pada golongan Asy’ariah (Sunni) yang hari ini menjelma menjadi Ahlus Sunnah wal Jamaah, diluar golongan ini adalah golongan kufur (kafir) sehingga tidak ada keselamatan bagi orang-orang kufur, di luar golongan mereka sudah di anggap ingkar Allah dan ingkar Nabi, karena tidak lagi mengesakan Tuhan dengan zat maupun sifatNya. Dalam ortodoksi Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan Kufur adalah seperti definisi di atas dan ini sudah Fixed Price ( harga mati ), definisi ini semakin mendoktrinasi umat Islam ketika di monopoli oleh lembaga formal agama seperti MUI, sehingga fatwa-fatwa yang lahir adalah : ” inilah tauhid yang murni dan sebenarnya, yang harus dipegang umat Islam saat ini jika ingin selamat, tidak boleh ada peran akal dalam tauhid, tidak boleh ada kebebasan berfikir dalam tauhid, iman dan kufur sudah jelas, bahwa diluar Ahlussunnah Wal Jama’ah semuanya sesat dan kufur, tidak bisa ditawar-tawar lagi, apalagi direlatifkan. Persoalan selanjutnya, Dalam konteks kekinian, apakah benar tidak ada lagi tawar menawar dalam persoalan iman dan kufur, apakah ini sesuatu yang tidak bisa di interpretasikan lagi. Apakah persoalan tauhid sesautu yang sudah final dan hanya milik satu golongan tertentu tanpa bisa dinterpretasikan lagi dan didekati dengan persfektif lain diluar ilmu tauhid ?. demikian juga dengan persoalan wahyu dan akal, apakah benar sesuai dengan ortodoksi umat Islam hari ini bahwa akal harus tunduk kepada wahyu, akal hanyalah pelayan wahyu. Apakah ortodoksi pemahaman tauhid seperti diatas (teologi asy’ary) berpengaruh terhadap eksistensi dan etos kerja umat Islam saat ini yang mundur, terbelakang, bergulat dengan kemiskinan. Apakah benar tauhid adalah aqidah atau malah tauhid ini bukan aqidah dan apakah perlu kita mengaktualisasikan kembali pemahaman tauhid sesuai dengan konteks kekinian dan dengan pendekatan dan persfektif lain ?. Menyimak pertanyaan-pertanyanan diatas, tentu perlu kita kait dan sinergiskan dengan model dunia dan kehidupan saat ini yang semakin lama semakin maju, modern dan canggih saja. Artinya, keadaan yang semakin modern ini perlu diikuti oleh pola tingkah, pola kerja dan pola pemikiran sesuai dengan konteks zaman. Jika tidak, maka akan terus tertinggal karena tidak bisa mengejar, menyamai apalagi bersaing. Misalnya, jika sedang hujan, kita malah menjajakan es , apa yang akan terjadi ?. Pola tingkah, pola kerja dan pola pikir umat Islam bersumber dari ketauhidan mereka. Seperti apa definisi tauhid yang mereka yakini, seperti itu juga turunan tingkah, kerja dan pemikiran mereka. Hari ini, tauhid yang diyakini oleh umat Islam adalah tauhidnya Sunni, yang mengajarkan seperti disebutkan diatas, hanya ada satu kebenaran, hanya ada satu jalan keselamatan, wahyu harus diatas segala-galanya, sehingga kita dapat melihat di Indonesia khususnya dan belahan dunia Islam lain pada umumnya, bahwa umat yang dihasilkan dari tauhid seperti ini adalah umat yang eksklusif, fundamentalis, konservatif,umat yang rajin melakukan kerusakan dan tindakan bar-bar. Fenomena diatas terjadi dikarenakan tauhid tersebut dipahami dengan menggunakan persfektif yang memandang Islam sebagai teks (tekstual), bukan dengan perfektif kontekstual. Artinya tanpa mau mengerti bahwa teks tauhid yang dianggap final dalam ortodoksi Islam berasal dari konfigurasi pemikiran dan penalaran subjektif manusia. Bisa juga terjadi dikarenakan Islam yang di agungkan dan dipraktekkan adalah Islam Syari’at yang diyakini paripurna, mutlak dan absolut, bukan Islam peradaban, yang semuanya serba relatif, yang dengan Islam seperti ini sebenarnya telah membawa Islam kepada puncak kejayaan dalam sejarah peradaban dan ilmu pengetahuan. Tauhid teks – wahyu diatas segalanya, tanpa peran akal dan tidak ada keselamatan di luar komunitas sendiri – dalam perfektif Syari’at melahirkan umat yang rigid (kaku), tidak ada kebebasan dalam berfikir, dan suka melakukan takfir. Sedangkan Tauhid yang dipahami dalam konteks peradaban – akal di atas wahyu dan keselamatan itu relatif – akan menghasilkan umat yang toleran, humanis, bebas berfikir, yang semua ini merupakan sebuah syarat kemajuan dalam komunitas global. Pertanyaan selanjutnya yang perlu diajukan adalah, dari pemaparan tauhid tekstual dan tauhid kontektual yang penulis paparkan diatas, apakah mutlak seperti itu, dan masing-masing berdiri sendiri. tanpa bisa didialogkan lagi. Tidak bisakah lagi mendialogkan antara wahyu dan akal, iman dan kufur. Jawabannya bisa saja bisa dan bisa saja tidak. Tidak bisa jika persfektif yang digunakan adalah persfektif Islam paripurna (Islam Syari’at) dan bisa jika perfektif yang digunakan adalah persfektif Islam peradaban atau Islam pemikiran lebih jelasnya kita sebut dengan persfektif pemikiran ke Islaman. Tujuan mendialogkan ini adalah pertama agar kita terlepas dari pengaruh ortodoksi Islam, yang mengharamkan kebebasan berfikir, dan tujuan mendialogkan ini adalah untuk melakukan telaah kritis, wahyu dan akal, iman dan kufur, untuk interpretasi dan reaktualisasi tauhid dalam konteks kekinian dengan pola adanya kebebasan berfikir diatas. Maka nantinya akan kita dapatkan jawaban, bagaimanakah sebenarnya, apakah wahyu yang harus tunduk kepada akal, atau malah sebaliknya, atau malah kita tidak perlu kepada wahyu, cukup dengan akal dan apakah tauhid itu aqidah ataukah hanya sebuah pemikiran. Mari kita dialogkan ini secara kritis. Dalam sejarah Islam sebagai khazanah dan peradaban, semua objek dalam Islam akan mudah di pahami jika menggunakan pendekatan pemikiran, karena persoalan teologi, filsafat, tasawuf, politik dalam Islam, ushul fiqh termasuk dalam ranah pemikiran ke Islaman. Syarat utama dari persfektif pemkiran ke Islaman adalah adanya kebebasan berfikir, semuanya relatif, tanpa ada vonis sesat dan takfir. Inilah yang tidak dipunyai ortodoksi Islam. Agama dilihat hanya dari satu aspek (Syari’at), tidak di lihat dari aspek pemikiran yang sebenarnya merupakan nyawa atas keberlangsungan sebuah agama. Menurut Lutfi Assyaukanie, persoalan kebebasan berfikir dalam Islam berakar dari permusuhan dan kecurigaan berlebihan terhadap peran akal. Sejak awal, kaum muslim terbelah dalam menyikapi perubahan sosial yang terjadi disekitar mereka, apakah harus melihat dan memahaminya lewat akal atau wahyu. Ortodoksi Islam umumnya berpegang teguh kepada wahyu, karena mereka meyakini bahwa segala sesautu didunia ini sudah termaktub dalam al-Quran. Kalaupun tidak ada disana, mereka meyakini bahwa al-Quran memberikan sinyalemen-sinyalemen untuk itu. Dengan kata lain, wahyu harus didahulukan diatas akal dalam menilai apa saja. Sementara itu bagi filosof dan pemikir muslim, akal merupakan pemberian Tuhan yang paling berharga, lebih berharga dari kitab suci itu sendiri. Tanpa akal, kitab suci tidak akan bisa dipahami. Bagi mereka jika akal dan wahyu berbenturan, maka wahyu haruslah diinterpretasikan. Dalam sejarahnya, hubungan agama dan pemikiran adalah sejarah ketegangan. Dalam Islam, pertentangan antara Islam dan ilmu pengetahuan relatif kecil, hal ini dikarenakan tidak pernah terjadi sebuah revolusi sains seperti yang terjadi di Eropa. Kemajuan sains dan ilmu pengetahuan dalam Islam relatif ”sejalan” dengan ideologi ortodoksi. Bahkan beberapa sains dalam Islam berkembang pesat akibat langsung dari ketertundukan sains di atas agama. Hal ini berbeda dengan pemikiran spekulatif yang dikembangkan dalam disiplin filsafat dan teologi. Pandangan – pandangan filsuf dan teolog kerap berbenturan dengan keyakinan ortodoksi Islam, dan sumber utamanya adalah kecurigaan di gunakannya unsur-unsur asing di luar konteks Arab dan Islam. Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted, para filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis. Artinya ada dimensi-dimensi filsafat dalam wahyu yang bisa di kaji dalam ranah pemikiran. Dalam filsafat ilmu terdapat dua aliran yang sering dianggap sebagai cara yang dikotomik dalam memperoleh pengetahuan: rasionalisme di satu sisi, dan empirisisme di sisi yang lain. Aliran pertama lebih menekankan pada dominasi akal dalam memperoleh pengetahuan, sementara yang kedua lebih mengakui pengalaman sebagai sumber otentik pengetahuan. Kedua aliran ini, dengan sendirinya, secara ekstrim tidak mengakui realitas lain di luar akal dan pengalaman atau fakta. Wahyu sebagai sebuah realitas di luar realitas itu, dengan demikian, tidak diakui sebagai sumber pengetahuan. FUNGSI WAHYU Wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia diakhirat. Sebagaimana kata ‘Abd. Jabbar, akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang lain. Demikian pula akal tidak dapat mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua ini hanya dapat diketahui hanya dengan perantaraan wahyu. Demikian pula pendapat Al Jubba’i, wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh oleh manusia diakhirat kelak. Wahyu bagi kaum Mu’tazilah juga mempunyai fungsi informasi dan konfirmasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui oleh akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui oleh akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh oleh akal. Semua aliran teologi dalam islam baik asy’ariyah maturidiyah apalagi mu’tazilah sama-sama mempergunakan akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan umat Islam perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan derajat dalam kekuatan yang diberikan kepada akal, kalau mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, As’ariyah sebaliknya akal mempunyai daya yang lemah. Akal dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekrti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda rasulullah SAW. Semua aliran juga berpegang kepada wahyu , dalam hal ini yang terdapat pada aliran tersebut adalah hanya perbedaan dalam interpretasi. Mengenai teks ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, perbedaan dalam interpretasi inilah, sebenarnya yang menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu tentang akal dan wahyu. Hal ini tak ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam bidang hukum Islam atau fiqih. Karakteristik wahyu • Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Tuhan, Pribadi nabi Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu. •Wahyu mmerupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus. • Wahyu itu adalah nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang berlaku. • Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. • Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah. • Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan. • Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pentingnya Akal.  Akal menurut pendapat Muhammad Abduh adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.  Akal adalah tonggak kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya, peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.  Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akallah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan. Kekuatan akal. 1) Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatnya. 2) Mengetahui adanya hidup akhirat. 3) Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan jahat. 4) Mengetahui wajibnya manusia mengenal tuhan. 5) Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat. 6) Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu. Kekuatan wahyu 1) Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. 2) Membuat suatu keyakinan pada diri manusia 3) Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib. 4) Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi. AKAL DAN WAHYU MENURUT BEBERAPA ALIRAN Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumbr pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mmpunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut. Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu. Sementara itu aliran maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dngan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu. Aadapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat as-sajdah, surat al-ghosiyah ayat 17 dan surat al-a’rof ayat 185. Di samping itu, buku ushul fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal manusia sendiri . dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil al-Qur’an surat Hud ayat 24. Sementara itu aliran kalam tradisional mngambil beberapa ayat Al-qur’an sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa . ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk. Fungsi wahyu Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Bagi aliran kalam tradisional, akal manusia sudah mengetahui empat hal, maka wahyu ini berfungsi memberi konfirmasi tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal manusia sebelumnya. Tetapi baik dari aliran Mu’tazilah maupun dari aliran Samarkand tidak berhenti sampai di situ pendapat mereka, mereka menjelaskan bahwa betul akal sampai pada pengetahuan tentang kewajiban berterima kasih kepada tuhan serta mengerjakan kewajiban yang baik dan menghindarkan dari perbuatan yang buruk, namun tidaklah wahyu dalam pandangan mereka tidak perlu. Menurut Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand wahyu tetaplah perlu. Wahyu diperlukan untuk memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat. Sementara itu, bagi bagi aliran kalam tradisional karena memberikan daya yang lemah pada akal fungsi wahyu pada aliran ini adalah sangat besar. Tanpa diberi tahu oleh wahyu manusia tidak mengetahui mana yang baik dan yang buruk, dan tidak mengetahui apa saja yang menjadi kewajibannya. Selanjutnya wahyu kaum mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Abu Jabbar berkata akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat . Dari uraian di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa wahyu bagi Mu’tazilah mempunyai fungsi untuk informasi dan konfirmasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Dan demikian menyempurnakan pengtahuan yang telah diperoleh akal. Bagi kaum Asy’ariyah akal hanya dapat mengetahui adanya tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat penting. Manusia mengetahui yang baik dan yang buruk, dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya turunnya wahyu. Dengan demikian sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya kepada tuhan, sekiranya syariatnya tidak ada Al-Ghozali berkata manusia tidak aka ada kewajiban mengenal tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepadanya atas nikmat-nikmat yang diturunkannya. Demikian juga masalah baik dan buruk kewajiban berbuat baik dan mnghindari perbuatan buruk, diketahui dari perintah dan larangan-larangan tuhan. Al-Baghdadi berkata semuanya itu hanya bisa diketahui menurut wahyu, sekiranya tidak ada wahyu tak ada kewajiban dan larangan terhadap manusia. Jelas bahwa dalam aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali, wahyu yang menentukan segala hal, sekiranya wahyu tak ada manusia akan bebas berbuat apa saja, yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat, dan demikianlah pendapat kaum Asy’ariyah. Al-Dawwani berkata salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena itu pengiriman para rosul-rosul dalam teologi Asy’ariyah seharusnya suatu keharusan dan bukan hanya hal yang boleh terjadi sebagaimana hal dijelaskan olh Imam Al-Ghozali di dalam al-syahrastani. Adapun aliran Maturidiyah bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang kurang wahyu tersebut, tetapi pada aliran Maturidiyah Bukhara adalah penting, bagi Maturidiyah Samarkand perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara wahyu perlu untuk mengetahui kwajiban-kewajiban manusia. Oleh Karena itu di dalam system teologi yang memberikan daya terbesar adalah akal dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan.tetapi di dalam system teologi lain yang memberikan daya terkecil pada akal dan fungsi terbesar pada wahyu. Manusia dipandang lemah dan tak merdeka. Tegasnya manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah adalah berkuasa dan merdeka sedangkan dalam aliran Asy’ariyah manusia lemah dan jauh dari merdeka. Di dalam aliran maturidiyah manusia mempunyai kedudukan menengah di antara manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah, juga dalam pandangan Asy’ariyah. Dan dalam pandangan cabang Samarkand manusia lebih berkuasa dan merdeka dari pada manusia dalam pandangan cabang Bukhara. Dalam teologi Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan kedudukan yang tinggi pada akal, tetapi tidak begitu tinggi dibandingkan pendapat Mu’tazilah, wahyu juga mempunyai fungsi relatif banyak tetapi tidak sebanyak pada teologi Asy’ariyah dan maturidiyah Bukhara. KESIMPULAN Demikianlah akal dan wahyu yang kami bahas, apabila banyak kesalahan dalam pembahasan sekiranya dapat dimaklumi dikarenakan kapasitas kemampuan kami yang sangat terbatas pada kajian kami ini.lalu kami dari yang kami presentasikan ini kita dapat menarik benang merah dari kajian ini yaitu : Akal secara fitrahnya juga sudah tersetting untuk mendeskripsikan tentang kebenaran. Ia dapat mengetahui perbedaan perbuatan buruk dan baik, cinta dan benci, kebohongan dan kebenaran, yang bathil dan yang haq, dan kata Ibn Taimiyah “seandainya Allah tidak menurunkan agamanya, manusia dengan akalnya bisa mengetahui hakikat tentang Tuhannya dan kebenaran itu sendiri”. Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted, para filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis. Artinya ada dimensi-dimensi filsafat dalam wahyu yang bisa di kaji dalam ranah pemikiran.  Wahyu mempunyai kedudukan yang sangat pnting dalam aliran Asy’ariyah dan mempunyai fungsi kecil pada aliran mu’tazilah.  Mu’tazilah adalah paham yang beraliran rasional artinya lebih menguatkan pendapat akal dibandingkan wahyu.  Asy’ariyah menjadikan wahyu mempunyai kedudukan penting dalam alirannya dibanding akal.  Maturidiyah Bukhara bahwa wahyu dan akal saling berdampingan dan saling menguatkan dengan kata lain kedudukan wahyu dan akal adalah seimbang.  Maturidiyah Samarkand bahwa akal lebih tinggi dibanding kedudukan wahyu dengan kata lain sama dengan pendapat aliran Mu’tazilah tentang kedudukan wahyu dan akal. REFERENSI Al-Majid. Al-Najjar. Pemahaman Islam, PT. Remaja Rodsakarya, Bandung; 1997. George F Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethic, Cambridge: Cambridge University Press, 1985) http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat http://id.wikipedia.org/wiki/Logika Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud, vol.V, 320-322. Naqd al-Mantiq, Nasution, Harun, akal dan wahyu dalam iaslam, cet. Ke-II, Jakarta: UI Press. 1986. Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Perbandingan, cet. Ke-5, Jakarta: UI Press. 1986. Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakata’ 1987. Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakata’ 1987. Nasution, Harun, Teologi Islam Dan Aliran Analisa Perbandingan, Jakarta; Universitas Indonesia, (UI-Press) 1986. Rozak, Abdul, Dkk, Ilmu Kalam, Bandung; CV. Pustaka, 2003. Rozak, Abdul, Dkk, Ilmu Kalam, Bandung; CV. Pustaka, 2003. Yunan Yusuf, M, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam, Jakarta; Perkasa Jakarta 1990. Yusuf, M. Yunan, Corak Pemikiran kalam Tafsir Al azhar, Jakarta: Permadani, 2004. Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Harun Nasution, UI-Press, Jakarta 1986. Sumber http://www.warkoplalar.blogspot.com